Selasa, Mei 05, 2009

Dhika's Lord Of The Rings Trilogy


THE LORD
OF THE RINGS : The Fellowship of the Ring

Judul: The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring
Sutradara
: Peter Jackson
Skenario : Peter Jackson, Fran Walsh, Philippa Boyens
Pemain : Elijah Wood, Ian McKellen, Viggo Mortensen, Liv Tyler
Produksi : New Line Cinema, 2001



MIDDLE Earth semula cuma ada di benak novelis J.R.R. Tolkien: sebuah bumi tempat manusia biasa, penyihir, kurcaci, hobbit (makhluk mini serupa manusia berkaki lebar berbulu), kaum elf yang elok dan punya hidup abadi, monster orc yang menjijikkan, serta sekian mahkluk ganjil lain bersilang takdir. Ada persahabatan, cinta kasih, hasrat rendah, ataupun pengkhianatan yang tergulung dalam pusaran petualangan yang mendebarkan. Begitu kompleks dan imajinatifnya kisah yang dijalin Tolkien dalam trilogi The Lord of the Rings ini sehingga vonis langsung jatuh tak lama setelah penerbitan perdananya pada 1960-an: karya ini tak mungkin difilmkan.

Vonis tersebut terbukti keliru. Peter Jackson, sutradara asal Selandia Baru, telah berhasil membuat kata-kata Tolkien menari dalam bentuk gambar dalam film The Fellowship of the Ring, bagian pertama dari trilogi itu. Film sepanjang tiga jam ini tidak hanya mampu memaku penonton ke tempat duduk, tapi juga langsung membuat penonton ingin segera menyaksikan lanjutannya. Kesabaran perlu dipupuk karena The Two Towers, seri keduanya, baru akan beredar tahun depan, sementara bagian terakhir, yaitu The Return of the King, akan dirilis setahunnya lagi. Dua film lanjutan itu saat ini dalam proses pascaproduksi karena syutingnya sendiri sudah selesai bersamaan dengan syuting The Fellowship.

Syuting simultan tiga film memang tergolong gendeng. Namun, Jackson memilih cara ini agar intensitas pembuatan film jadi terjaga. Selama setahun penuh, Jackson dan krunya tak meninggalkan Selandia Baru, yang dijadikan lokasi pengambilan gambar. Tuntutan pada pemain sangat berat. Pemeran kaum elf, misalnya, diharuskan belajar bahasa elfish "ajaib" yang dibuat berdasarkan arahan ahli bahasa. Bujet proyek? Bukan main-main: US$ 270 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun.

The Fellowship dimulai dengan sekitar tujuh menit pengenalan Middle Earth. Yah, semacam Tolkien for dummies. Selanjutnya, penonton dibawa ke perkampungan hobbit. Adegan pesta di sini tak ubahnya acara anak-anak produksi BBC. Dua bagian awal ini tergolong titik lemah The Fellowship. Namun, begitu kisah memasuki bagian yang lebih gelap, irama film menderas sampai akhir.

Kisah utama The Fellowship berpusat pada Frodo Baggins (Elijah Wood). Hobbit belia ini tanpa kemauannya sendiri mewarisi cincin buatan Sauron, peguasa kegelapan. Oleh penyihir bijak Gandalf (Ian McKellen), Frodo diberi saran agar memusnahkan cincin itu ke kawah Mordor. Demi menyelamatkan kaumnya, Frodo menyanggupi perjalanan maut ini berteman tiga hobbit lain: Sam, Merry, dan Pippin. Ikut dalam rombongan ini dua kesatria manusia Aragorn (Viggo Mortensen) dan Boromir (Sean Bean), prajurit kerdil Gimli, dan elf jago panah Legolas.

Perjalanan kelompok ini selalu mendapat ancaman dari penyihir jahat Saruman (Christopher Lee), bekas teman Gandalf yang berkhianat. Saruman, yang menjual jiwanya kepada Sauron, membentuk pasukan monster yang menakutkan. Ancaman lain bagi Frodo dan kawan-kawannya datang dari Ringwraiths, kesatria hantu yang menunggang kuda hitam.

Racikan Jackson terbukti diminati pencinta film. Sampai dua bulan peredarannya di seluruh dunia, Fellowship telah menjala US$ 684 juta. Itu menjadikan film ini duduk dalam peringkat ketujuh film terlaris sepanjang masa. Peringkat Fellowship dipastikan akan melonjak karena pemutaran film ini masih berlangsung, termasuk di Indonesia.

Faktor lain yang membuat film ini akan makin laris adalah ganjaran 13 nominasi Oscar yang diberikan Academy Awards tahun ini, termasuk untuk kategori sutradara dan film terbaik. Itu merupakan sesuatu yang wajar karena semua unsur pendukung dalam film ini hampir tanpa cela. Akting para pemainnya meyakinkan. Yang paling gemilang adalah penampilan Ian McKellen, yang berhasil meraih nominasi aktor pendukung terbaik Academy Awards. Adegan terbaiknya adalah saat Gandalf ber-hadapan dengan setan purba di pertambangan kaum kerdil. Pencapaian paling istimewa dari sisi teknis adalah proyeksi gambar yang berhasil "memampatkan" para pemeran hobbit hingga terlihat betul-betul separuh ukuran manusia dewasa.

Kelemahan Fellowship yang mungkin mengganjalnya untuk menyabet gelar film terbaik adalah kurang dalamnya penggalian karakter tokoh-tokohnya. Misalnya, hubungan persahabatan Frodo dan Sam, yang dalam buku begitu kental, dalam film tenggelam oleh kemegahan adegan-adegan laga. Hubungan asmara Aragorn dan wanita elf Arwen (Liv Tyler), yang semestinya mengharukan, malah terlihat tawar dan tempelan belaka. Puitisasi dialog antartokoh di dalam buku tenggelam dalam kesibukan menata landscape yang gigantik dan—harus diakui—gilang-gemilang. Persoalan yang dihadapi pembuat film ini tampaknya adalah durasi tayang. Bila para aktornya mendapat porsi lebih, film ini bisa lebih dari tiga jam. Namun, siapa tahu keajaiban akan memeluk Fellowship. "May it be," begitu tutur Enya dalam lagu penutup film ini.



THE LORD OF THE RINGS: The Two Towers

Judul: THE LORD OF THE RINGS: The Two Towers
Pema
in: Elijah Wood, Ian McKellen, Viggo Mortensen
Sutradara: Pete
r Jackson
Skenario: Frances Walsh, Peter
Jackson, dkk.


Mount Doom di Mordor tampak menyala merah di ujung cakrawala. Dua menara yang menyimpan kekuatan hitam berdiri tegak di kejauhan. Dua hobbit mungil tersesat mencari jalan. Inilah dunia fantasi yang diciptakan J.R.R. Tolkien dalam novel triloginya, The Lord of the Rings, yang dengan cemerlang diangkat ke layar lebar oleh sutradara New Zealand, Peter Jackson (Heavenly Creatures).

Film The Two Towers menampilkan kembali tokoh-tokoh dan situasi yang diperkenalkan dalam film The Fellowship of the Ring dan mempersiapkan mereka untuk film berikutnya, The Return of the King. Ia berfungsi sebagai perekat. Risikonya, The Two Towers tak bisa berdiri sendiri karena, sebagai bab tengah dari sebuah trilogi, film ini sesungguhnya tak punya awal dan tak punya akhir. Adegan akhir dalam film The Fellowship of the Ring adalah adegan pembuka dalam film The Two Towers. Frodo (Elijah Wood) dan Sam (Sean Astin) masih dalam perjalanannya menuju Mordor untuk memusnahkan kekuatan jahat yang tersimpan dalam cincin yang mereka jaga selama ini. Tak lama kemudian kepada penonton disajikan sebuah flashback dari episode pertama, sehingga yang belum menikmati The Fellowship of the Ring akan segera mengerutkan dahi dengan bingung.

Kali ini, geng penjaga cincin sudah tersebar di berbagai lokasi. Sam dan Frodo menuju Mordor. Penyihir baik Gandalf (Ian McKellen), Aragorn (Viggo Mortensen), sang peri Legolas (Orlando Bloom), dan si kerdil Gimli (John Rhys-Davies) berangkat ke Rohan guna membujuk Raja Theoden (Bernard Hill) untuk siap berperang melawan tentara Urk-Hai ciptaan Sauron, yang ingin menguasai Middle Earth. Di hutan Fanghorn, Merry (Dominic Monaghan) dan Pippin (Billy Boyd) dari kaum hobbit bertemu dengan Treebeard dari bangsa Ent, si gembala pohon.

Lazimnya, dalam film yang padat tokoh, pengembangan karakter sulit diciptakan. Namun, The Two Towers berhasil memperlihatkan perubahan-perubahan kecil yang dialami para tokohnya. Aragorn mendapat porsi lebih besar dalam episode ini. Penampilannya semakin gagah dan, sebagai aktor, Mortensen tampak lebih nyaman dalam memerankan Aragorn. Mortensen sanggup memunculkan kerentanan Aragorn ketika bermimpi tentang kekasihnya, Arwen (Liv Tyler), juga kebimbangannya ketika harus berhadapan dengan tentara Sauron. Begitu juga Merry dan Pippin, yang terkenal penakut dan tak terlalu cerdas itu. Mereka berubah sikap dari pengecut dan pasif menjadi duo pemberani yang penuh inisiatif.

Kini, langkah Frodo terasa lebih berat karena ia semakin merasakan beban sebagai pengawal cincin yang utama. Sesekali ekspresi wajahnya berubah dan ia menjadi kasar. Frodo mulai menyadari pengaruh cincin pada dirinya. Ini pula yang dirasakan Gollum (Andy Serkis), karakter ciptaan teknologi CGI (computer-generated imagery), yang merupakan penokohan paling brilian dalam film ini. Gollum berkepribadian ganda, yang membuatnya terus-menerus berubah dari tokoh yang baik ke tokoh yang curang dan culas. Tetapi, berbeda dengan Jar-Jar Binks (seri baru Star Wars) yang menjengkelkan, dan Dobby (Harry Potter: The Chamber of Secrets) yang tolol, Gollum ditampilkan bagai tokoh tragis penuh konflik yang justru mengundang simpati penonton. Kita tidak pernah tahu betul loyalitas Gollum pada Frodo. Mungkin ini disebabkan kita tak bisa menentukan loyalitas kita pada Gollum. Di satu sisi ia mampu membuat kita cemas dan takut, tapi di sisi lain ia juga sanggup membuat kita terhibur, bahkan kadang-kadang sayang padanya.

Seperti film sebelumnya, The Two Towers merupakan sajian visual yang memukau. Peter Jackson dan sinematografernya, Andrew Lesnie, memperlakukan frame kamera bak kanvas raksasa, tempat mereka menumpahkan imajinasi dengan kuas mereka masing-masing. Lesnie melukis layar dengan berbagai wide-shot pemandangan alam New Zealand yang membuat kita sesak napas. Kameranya menampilkan tokoh-tokoh dalam film seperti semut di hadapan alam yang begitu luas dan indah. Jackson seakan-akan ingin mengingatkan betapa tak berdayanya para makhluk tersebut melawan nasibnya.

Adegan pertempuran di akhir film mungkin merupakan prestasi tertinggi dalam sejarah sinema modern. Setiap sudut dipadati detail dan, walaupun layar didominasi teknologi komputer yang serba canggih, penyutradaraan Jackson dan sinematografi Lesnie memberi sentuhan manusiawi sehingga adegan puncak tersebut terasa dinamis dan hidup.

Ada pendapat yang beranggapan bahwa The Two Towers menyeleweng dari novel Tolkien, dan ini adalah dilema yang selalu muncul ketika kita membicarakan adaptasi sebuah novel ke film. Menurut novelis John Fowles, selalu saja ada hal visual yang tak pernah bisa diungkapkan lewat kata, dan akan selalu terjadi kata-kata yang tak sanggup diterjemahkan lewat gambar. The Two Towers adalah pesta visual yang telah mencoba menangkap dunia fantasi Tolkien, dan menghidupkannya. Tak perlu diperdebatkan, cukup dinikmati.



THE LORD OF THE RINGS: The Return of the King

Judul: THE LORD OF THE RINGS: The Return of the King
Sutradara: P
eter Jackson
Skenario: Peter Jackson, Frances Walsh, Philippa Boyens
Pemain: Elijah
Wood, Viggo Mortensen,
Produksi: New Line Cinema



Sekuel terakhir The Lord of the Rings menjadi film terbesar dan terdahsyat milenium ini. Satu dari sedikit film yang berhasil mengangkat sebuah karya sastra menjadi karya film yang sama besarnya, sekaligus sukses secara komersial.

KIAMAT telah lewat. Setelah cincin dilebur ke dalam lava Mount Doom, segala yang jahat dan hitam di atas Middle Earth kemudian runtuh seketika menjadi api. Setelah melalui neraka ini, seperti juga awal dari segala kehidupan, peleburan cincin terkutuk Sauron itu sekaligus menjadi sebuah pengumuman dan pertanda yang telah dinanti: Sauron punah, kejahatan luluh-lantak. Untuk beberapa menit yang dinanti, setelah tiga sekuel trilogi sepanjang sembilan jam, kepada para penonton setia The Lord of the Rings disajikan serangkaian adegan kehancuran Menara Kegelapan Mordor, tempat Sauron—kali ini muncul dengan visualisasi The Eye, sebuah mata besar api yang menatap seluruh kegiatan di atas Middle Earth.

Inilah sebuah klimaks dari perjalanan panjang Froddo Baggins (Elijah Wood), ditemani sahabatnya yang setia dan penuh pengabdian, Samwise Gamgee (Sean Astin), untuk meleburkan cincin berkekuatan tak terbatas yang diinginkan oleh Sang Hitam, Sauron. Seluruh plot dari tiga film seri The Lord of the Rings yang diangkat dari sebuah novel setebal 1.137 halaman karya J.R.R. Tolkien itu sebetulnya sederhana: menyelamatkan dunia dengan memusnahkan sebuah cincin agar Kekuatan Gelap Sauron tak mampu menguasai dunia Middle Earth, sebuah dunia pada abad-abad silam ketika bumi ini masih dihuni oleh Manusia, Peri, Hobbit, Kurcaci, dan selebihnya makhluk-makhluk hitam yang berpihak pada Sauron.

Pada sekuel ketiga, Jackson tidak berlarat-larat menceritakan kembali apa yang terjadi pada The Fellowship of the Rings dan The Two Towers. Ia langsung saja membelah film sepanjang 3 jam 20 menit ini ke dua bagian besar yang nantinya berakhir menjadi satu. Pertama, lanjutan perjalanan Froddo dan Samwise diiringi Gollum/Smeagel (diperankan oleh Andy Serkis dengan kreasi komputer CGI), sebuah makhluk yang di masa lalunya adalah Hobbit yang berevolusi akibat kekuataan cincin itu dan masuk ke tubuh Gollum.

Kedua, kisah Aragorn (diperankan oleh aktor yang masya Allah tampannya, Viggo Mortensen)—putra mahkota Kerajaan Gondor yang enggan duduk di takhta kerajaan itu—yang akhirnya kembali ke kerajaannya, tempat ia dititahkan oleh garis tangannya dan demi menjawab keinginan rakyatnya.

Tetapi tentu saja sebelum semua sosok bisa duduk dengan tenteram di atas kerajaan yang aman sentausa, mereka harus melalui sebuah perang besar yang telah ditakdirkan: perang akbar melawan Sauron dan seluruh pasukannya yang terdiri dari berbagai makhluk zalim di atas bumi: gajah bergading empat, sembilan naga bersayap berwajah purba, dan berjuta Orc, makhluk tanpa bentuk yang secara fisik menampilkan kekejian dan simbol dari keburukan dari yang paling buruk.

Seluruh pasukan pembela Middle Earth di bawah pimpinan Aragorn didampingi oleh Penyihir Agung Gandalf (Ian McKellen), Peri Legolas (Orlando Bloom, favorit para penonton remaja putri yang menjerit setiap kali dia tampil di layar), dan Gimli, sang Kurcaci (John Rhys-Davies). Semua berkuda menuju Minas Tirith, ibu kota Kerajaan Gondor, untuk bertarung dalam sebuah "peperangan terbesar abad ini," demikian ungkap Sang Penyihir Agung Gandalf. Inilah taktik peperangan yang diharapkan akan mengganggu konsentrasi Sauron. Dengan demikian, Froddo dan Samwise bisa tiba di tepi jurang lava untuk memenuhi tugas berat melemparkan cincin terkutuk itu.

Peperangan itu adalah sebuah perayaan sinematik terbesar abad ini, milenium ini. Berjuta makhluk Orc, berpuluh gajah dan naga-naga bersayap seolah melahap pasukan fellowship Kesatria, Peri, dan di sana-sini terdapat Kurcaci dan Hobbit Merry—yang nyempil di atas kuda Eowyn (Miranda Otto), kemenakan perempuan Raja Theoden (Bernard Hill) dari Rohan. Melawan kebesaran dan kekejian dari segala bentuk tak mungkin hanya dengan tekad.

Mereka hanya terdiri dari rombongan kesatria tangguh dan peri bertekad baja yang pandai memanah bak Arjuna bernama Legolas. Aragorn harus mendengarkan saran Elrond (Hugo Weaving), ayah Arwen—kekasih abadi Aragorn (diperankan oleh aktris jelita Liv Tyler). Apa boleh buat, sesuai dengan saran Elrond, Aragorn harus bersekutu dengan serombongan roh bekas tentara Kerajaan Gondor—yang masih gentayangan di pegunungan karena dikutuk—yang di masa lalu dikenal tak mengenal loyalitas. "Mereka akan patuh di bawah perintah pewaris Gondor yang sejati," kata Elrond, menyerahkan pedang kepada Aragorn. Dan persekutuan itu pun terbentuk. Kekalahan Yang Jahat dan Gelap sudah ditorehkan.

Kedahsyatan film ini tentu saja bukan karena teknologi yang dioptimalkan habis-habisan melalui adegan perang akbar dan berbagai makhluk yang tampak begitu nyata: sosok Gollum ciptaan komputer, yang tampak senyata aktor manusia yang bersanding selama perjalanan; laba-laba Raksasa Shelob yang membuat kita menggigil; atau pemandangan seluruh kawasan Gondor dan benteng-benteng yang merupakan gabungan antara karya kompugrafik dengan footage. Jackson menyelenggarakan "perkimpoian teknologi" itu dengan luar biasa! Superb! Tetapi, di antara kemegahan teknologi, film ini juga tetap menampilkan momen-momen yang tidak hanya menyentuh, tetapi berhasil "merampas" hati.

Perjalanan panjang Froddo dan Samwise, yang bukan hanya diwarnai tantangan dan penderitaan, lebih mengoyak hati karena kesetiaan Samwise yang tak terbantahkan sepanjang zaman. Bahkan ketika Froddo kehilangan kepercayaan akibat hasutan Gollum. "Jangan pergi ke tempat yang tak bisa kuikuti," katanya kepada Froddo berkaca-kaca. Seperti dalam hidup, hanya pada akhir kisah, setelah penuh darah dan air mata, Froddo menyadari bahwa Gollum adalah makhluk yang mengkhianatinya, bukan Samwise yang sudah diusirnya. Di tepi Mount Doom yang dialiri lava, Froddo memberikan pernyataan penting dengan air mata "I'm glad to be with you Samwise Gamgee, here at the end of all days" Dan ucapan itu cukup memancarkan cahaya kegembiraan sang Hobbit yang setia dan penuh pengabdian pada Samwise. Adegan ini sekaligus memperlihatkan, Samwise adalah pahlawan yang sesungguhnya. Froddo adalah simbol keberanian dan ketabahan hati.

Adegan tragis lainnya adalah subplot Faramir (David Wenham), putra dari Denethor, steward (penguasa sementara) dari Minas Tirith. Denathor (diperankan dengan baik oleh John Noble) berduka atas kematian putra sulungnya—dalam sekuel The Two Towers—hingga saat Faramir dalam pingsan, Denethor yang mulai kehilangan ingatan berniat membakar diri dan Faramir hidup-hidup. Adegan-adegan lain lebih merupakan romantisme dalam setiap cerita fantasi: Kepada Pippin, Gandalf bersabda tentang indahnya hidup setelah kematian.

Sebuah dialog dengan daya puitik; cinta Eowyn pada Aragorn yang tak kunjung berbalas, tapi toh Eowyn—meski pedih—dengan penuh harga diri maju ke medan perang dengan gagah. Sentuhan terakhir adalah cinta abadi Aragorn dengan Arwen—wanita keturunan peri—yang kemudian ditunjukkan melalui sebuah ciuman penuh gairah di depan khalayak rakyat. Viggo Mortensen adalah satu dari sedikit aktor yang mampu menunjukkan seni peran laga yang heroik sekaligus kegairahan cinta melalui sepasang matanya yang tajam. Dan dialah raja yang ditunggu bertahun lamanya oleh rakyatnya (dan oleh penontonnya yang kerap tak mampu bernapas karena ketampanannya!).

The Lord of the Rings: The Return of the King menjadi karya agung abad ini. Novel yang penuh dengan inspirasi legenda dan sejarah yang diangkat menjadi film epik ini akan menjadi barometer terpenting dalam sejarah perfilman dunia bagi mereka yang berikutnya akan membuat sebuah film epik. Sutradara Peter Weir (Master and Commander: the Far Side of the World), Anthony Mingella (The Cold Mountain), Edward Zwicks (The Last Samurai) layak mendapatkan nominasi penghargaan Academy Awards. Tetapi adalah Peter Jackson, sutradara trilogi The Lord of the Rings, yang layak memborong penghargaan tahunan ini.

1 komentar: