Rabu, Mei 06, 2009

Dhika's Kingdom Of Heaven


Judul: KINGDOM OF HEAVEN
Sutradara: Ridley Scott
Skenario: William Monahan
Pemain: Orlando Bloom, Leam Neeson, Edward Norton, Jeremy Irons
Produksi: 20th Century Fox dan Scott Free Production



Yerusalem di abad ke-12 itu melesat, melaju, dan menjelma menjadi Yerusalem abad ke-21. Ridley Scott menyebarkan sebuah aroma konflik agama di masa lalu yang kini, di abad ke-21, menjadi persoalan besar sejak pecahnya tragedi WTC 11 September 2001. Kisah Perang Salib ketiga.

Nun di penghujung tahun 1187, Yerusalem lahir sebagai sebuah tanah yang terus-menerus mencoba menjadi santun dan damai. Tetapi tubuh Yerusalem terus-menerus dicabik-cabik oleh kebencian dan permusuhan. Maka, Perang Salib ketiga, ketika Timur Tengah memiliki tokoh-tokoh sejarah yang berupaya keras untuk tetap hidup damai antar-sesama umat Nasrani, Islam, dan Yahudi, menjadi sebuah setting penting bagi sutradara Ridley Scott dan penulis skenario William Monahan untuk mengirim penonton ke sebuah persoalan masa kini: bisakah perbedaan keimanan dan kepercayaan hidup bersama berdampingan dengan damai?

Syahdan Raja Baldwin IV (Edward Norton), penguasa Yerusalem, adalah tokoh sejarah yang berjuang agar umat Nasrani dan muslim bisa berdampingan dengan damai. Tetapi, meski dengan segala kewenangan dan otoritas yang penuh, sang Raja berhati mulia itu memiliki kelemahan: ia menderita lepra dan tengah melawan maut. Ia memerintah dengan topeng berwarna perak yang menyelimuti wajahnya yang telah digerogoti lepra--yang di masa itu masih menjadi penyakit mematikan. Karena itu, musuh utamanya bukanlah tentara muslim, melainkan justru para petinggi seperti Guy Lusignan (Marton Czokas), adik ipar sang raja--yang menikah dengan adik raja yang jelita, Sybilla (Eva Green)--dan Reynald (Brendan Gleeson), yang tak percaya bahwa umat di luar Nasrani patut memiliki Yerusalem.

Lalu di ujung sana, seorang sultan, seorang sosok bercahaya yang namanya senantiasa bersinar bernama Saladin (1138-1193), adalah seorang pemimpin umat Islam yang bertahan untuk tidak berperang demi kekuasaan. Sultan Saladin dan Raja Baldwin adalah dua sosok sejarah yang sesungguhnya sama-sama menginginkan Yerusalem--atau bagian di mana pun di dunia--bersih dari pertumpahan darah.

Tetapi dunia dan manusia tidak sebersih itu. Lusignan, adik ipar sang raja, bergerak bak seekor burung gagak yang menanti sang raja mengembuskan napasnya yang terakhir. Reynald adalah seorang Dursasana yang terus-menerus mengembuskan kebencian dan kegairahan perang.

Lalu, muncul seorang kesatria bernama Balian (Orlando Bloom). Seorang tukang besi Prancis dengan wajah indah dan berhati emas yang baru saja menemukan ayahnya, Godfrey (Liam Neeson), kesatria yang kemudian mengajak putranya bergabung dalam Perang Salib untuk mempertahankan Yerusalem di tangan Raja Baldwin.

Selanjutnya, Scott tak bisa hanya setia pada sejarah. Meski tokoh Balian memang pernah dikenal dalam sejarah, Scott harus memasukkan unsur romansa agar penonton tidak lelah dan mendengkur. Sybilla, adik jelita sang raja yang bersuami lelaki sialan itu, kemudian jatuh cinta pada Balian. Mereka terlibat dalam percintaan gelap. Meski demikian, Balian tak memanfaatkan hubungan gelap itu. Dia menampik kesempatan untuk membunuh suami Sybilla. Ketika raja tewas, mau tak mau mahkota jatuh ke tangan Lusignan, dan Perang Salib antara kaum Muslim di bawah pimpinan Sultan Saladin melawan kaum Nasrani akhirnya pecah.

Scott adalah satu dari sedikit sutradara yang selalu melahirkan puncak-puncak baru dalam perfilman. Film Blade Runners, Gladiator, dan Black Hawk Down adalah karyanya yang bukan saja spektakuler, tetapi juga menjadi tonggak dalam perfilman Hollywood. Film Kingdom of Heaven, yang menggambarkan Yerusalem sebagai sebuah kerajaan yang penuh paradoks, sebuah kawasan suci bagi tiga agama yang tak henti-hentinya diperebutkan dan terus-menerus basah oleh darah pertempuran, adalah karya yang super-spektakuler.

Adegan perang, pertahanan benteng di Yerusalem, dan ratusan ribu tentara yang saling menghantam, menghajar, dan saling berlomba untuk mengirim musuhnya ke neraka adalah keistimewaan Scott yang telah dibuktikan melalui film kolosal The Gladiator. Kini Kingdom of Heaven menunjukkan sebuah tontonan spektakuler, sebuah drama berdarah tak tertandingkan dan hanya bisa dikisahkan melalui kamera.

Tetapi Scott bukanlah sutradara yang dahsyat dalam mengurus aktor, meski Russell Crowe pernah lahir sebagai aktor terbaik di bawah arahannya (dan itu lebih karena bakat luar biasa Crowe). Orlando Bloom mungkin tampak seperti seorang Arjuna sebagai Legolas dalam Lord of the Rings, dia manis dan gemulai lengkap dengan anak panahnya yang membuat penonton remaja putri histeris karena setiap geraknya. Tetapi Bloom sebagai Balian tidak tampil sebagai sosok yang meyakinkan, yang bisa membuat seorang permaisuri jatuh ke telapak kakinya, yang mempunyai keyakinan keras bahwa membunuh musuhnya dengan cara yang curang bukanlah perbuatan seorang kesatria. Dia tampil sebagai lelaki cantik, tetapi bukan pria yang penuh prinsip.

Eva Green sebagai Sybilla adalah sebuah marabahaya. Dia aktris yang bersinar dalam film Dreamer (sebuah drama erotis tentang percintaan inses), tetapi dia tak mampu mengembuskan napas erotisisme dan keagungan seorang permaisuri yang luluh-lantak oleh cintanya pada seorang tukang besi. Karakter para petinggi di kalangan Nasrani terlalu hitam-putih. Memang ada semacam "kewajiban moral" bagi Scott untuk memperlihatkan bahwa Perang Salib ketiga ini lebih banyak terjadi karena pihak Nasrani yang memprovokasi.

Selain itu ada kesan pula, setelah tragedi 11 September, ketika masyarakat AS kemudian mempunyai "musuh baru" yakni warga Timur Tengah (yang kemudian dicampuradukkan dengan umat Islam), Scott tampak merasa wajib menampilkan sebuah proses edukasi bagi penonton Barat. Karena itu, dia sama sekali tak memperlihatkan kompleksitas pada pasukan Sultan Saladin. Mereka semua digambarkan penuh nurani dan heroik, dan tak ada satu pun anak buah Saladin yang mempertanyakan kebijakan Saladin yang sangat memaafkan musuhnya.

Harus diingat, konflik agama dan keimanan sudah pasti memiliki banyak kendala. Scott memilih untuk berisiko: umat Nasrani memilih perang karena kepercayaan, moral, dan sebagian karena rakus. Umat Islam dalam film ini digambarkan sebagai kesatria yang maju perang untuk mempertahankan diri dan karena moral. Scott memindahkan kisah abad ke-12 dengan aroma abad ke-21 dengan sebuah tujuan penting: para tokoh sejarah di masa lalu seperti Sultan Saladin dan Raja Baldwin bahkan jauh lebih bijaksana dan bermoral daripada pemimpin di masa kini. Mereka mampu menjadi pemimpin yang rasional dan membuang fanatisisme.

Pertumbuhan kaum fanatik dari semua agama (Islam, Kristen, Yahudi) di abad ini menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan karena fanatisisme tidak memberi ruang pada toleransi dan kehidupan damai. Scott mengirim misi itu dengan jelas melalui Kingdom of Heaven, sebuah "kerajaan" yang hingga kini masih terus penuh darah, dan tak kunjung menjadi "surga" di atas bumi karena pergolakannya.



***************


Yang 'Kudus' yang Berdarah


Film Kingdom of Heaven menampilkan sisi lain dari Perang Salib. Itulah perang yang diawali para pemeluk baru yang fanatik.

Dengan mimik muak, Tiberias, pangeran dari Tripoli itu, menghentak kudanya menjauhi Yerusalem. "Mulanya kupikir kita perang demi Tuhan, ternyata demi tanah dan kekayaan. Aku malu." Ia undur, meninggalkan sendiri Balian, pangeran Ibelin yang memandang hamparan mayat pasukan Salib diserbu ribuan gagak.

Kalimat ini terasa menohok bagi kita yang menonton adegan film Kingdom of Heaven. Sebuah kalimat yang, konon, oleh sutradara Ridley Scott ditujukan untuk Presiden Bush. Intinya: betapa pembelaan berlebihan pada yang suci bisa berakibat suatu paranoia yang fatal.

Inilah sebuah film dengan setting berabad-abad lampau, tapi masih aktual dipakai sebagai cermin masa sekarang. Film ini mengambil kisah nun jauh di tahun 1099. Serombongan kafilah muslim Sarasin dibantai oleh seorang baron bernama Reynauld de Chatillon, dan Saladin membalas. Yerusalem jatuh ke tangan Saladin, peristiwa yang akhirnya menggulirkan Perang Salib ke-3.

Banyak teolog atau sejarawan yang menegaskan bahwa asal-usul Perang Salib tidak bersumber pada nilai-nilai agama Kristen atau Islam, dan film ini menyuguhkan sisi-sisi itu. Sisi yang sering dilupakan bahwa dari kedua belah pihak muncul banyak tokoh yang berusaha keras membina toleransi, menjaga gencatan senjata. Tapi akibat langkah baron-baron yang bermotif campuran antara ekonomi dan religi, sejarah pun mencatat enam kali tragedi besar itu berulang.

Awal Perang Salib, kita tahu, adalah ketika kaum Turki Seljuk merangsek ke wilayah-wilayah Bizantium, dan mulai menjamah Anatolia. Ketika itu Bizantium (pusat kekristenan timur) yang sesungguhnya telah berpisah resmi dengan Roma (pusat kekristenan barat) pada 1054, meminta tolong pada Roma. Lalu, Paus Urbanus II di Konsili Clermont, November 1095, menyerukan sukarelawan seantero Eropa Barat agar bergabung.

Sejarah mencatat kesatria-kesatria Eropa kala itu: Inggris, Prancis--terutama ujung tombaknya, kaum Frank Normandia--mengalir ke Bizantium. Tanda-tanda salib ditempelkan pada bahu. Mereka bersatu padu menghalau Turki Seljuk dan kemudian mengarahkan diri merebut Yerusalem, membebaskan makam suci Kristus.

Menurut buku Dr Th. van den End dan Dr Christiaan de Jonge dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, ada persamaan antara tentara Normandia dan Turki Seljuk. Turki Seljuk baru saja masuk Islam, kaum Frank baru masuk Katolik. Keduanya fanatik dan masing-masing tengah mencari jati diri. Turki menentang kemapanan Arab, sementara kaum Frank mencari jiwa Kristen baru yang berbeda dengan Bizantium.

Bila antara orang-orang Bizantium dan Arab telah belajar saling menghargai, siap hidup berdampingan antara Kristen dan Islam, tidak demikian halnya dengan kaum Turki dan Normandia waktu itu. Peradaban mereka masih rendah. Sementara itu, Bizantium dan Arab adalah ahli waris kebudayaan Helenis. Keduanya warga kosmopolitan yang telah lama saling tukar pengetahuan sehingga orang-orang Konstantinopel saat itu mungkin lebih betah tinggal di Kairo atau Bagdad daripada di Paris atau London.

Karen Armstrong, misalnya, menulis, ketika pasukan Salib berduyun-duyun datang dari seantero Eropa Barat ke Konstantinopel. Raja dan warga Konstantinopel kaget melihat betapa penyelamat mereka itu sangat barbar, buas, dan tak beradat. Warga Konstantinopel ketakutan sendiri. Sebaliknya, pasukan Salib semakin defensif begitu menyaksikan kemegahan dan keanggunan Konstantinopel.

Bizantium sendiri tidak pernah memaknai perang melawan Turki Seljuk sebagai sebuah "perang suci" atau perang agama. Namun, di tangan pasukan Salib, itu menjadi sebuah perang religius. Dengan rasa percaya diri tinggi, sering sepanjang perjalanan pasukan Salib merasa dilindungi secara gaib oleh Santo George, Santo Demetrius, dan mendapat halusinasi dibimbing untuk menemukan azimat-azimat, relik-relik--termasuk lembing suci--yang dipakai untuk menombak Kristus yang dianggap membawa kesaktian. Pada 15 Juli 1099, Yerusalem takluk, seisi kota dibantai habis, dan Godfrey de Bouillon diangkat menjadi Raja Yerusalem.

Armstrong menerangkan, lambat-laun penghuni Yerusalem terbagi dua. Pertama, mereka yang mengawini masyarakat Timur Tengah setempat dan menjadi lebih toleran terhadap kaum muslim. Tiberias, misalnya, yang nama lainnya adalah Raymond, sehari-hari mampu berbicara Arab secara fasih, dan sosoknya lebih Timur daripada Barat, kulitnya gelap. Kingdom of Heaven tak menampilkannya demikian. Demikian pula Putri Sybilla, saudari Raja Yerusalem, Baldwin IV, yang parasnya ditampilkan mirip wajah perempuan-perempuan Timur Tengah.

Kelompok kedua adalah masyarakat yang tak mau melakukan asimilasi dengan penduduk setempat. Terutama dari golongan ini adalah kelompok-kelompok kesatria yang menjadi armada kepolisian penjaga kuil-kuil istana yang disebut Kesatria Kuil atau The Templars. Juga, kaum imigran dari Eropa Barat yang terus-menerus beremigrasi ke Yerusalem, dan kemudian heran melihat banyak keturunan kaum Frank di sana malah bersahabat dengan kaum muslim, sehingga menyebut mereka pengkhianat.

Konflik antara mereka yang toleran yang lalu disebut kaum Merpati dan yang anti yang lalu berjulukan kaum Elang inilah inti skenario Kingdom of Heaven, terutama ketika Reynauld de Chatillon, pemimpin kelompok Elang yang baru beremigrasi ke Yerusalem pada 1147 dan Guy de Lusignan membantai kafilah yang melakukan perjalanan ke Mekkah, termasuk adik Saladin. Mereka juga mendesuskan kabar rencananya menyerbu Mekkah. Dua ratus ribu pasukan Damaskus Saladin, pangeran asal Mesir itu, lalu menyerang, memanfaatkan menara-menara katapel yang pada saat itu canggih.

Musim panas Oktober 1187, Saladin menaklukkan Yerusalem. Ia masuk kota tanpa pembunuhan warga dan penjarahan. Ia bahkan mengundang kaum Yahudi di pengasingan untuk kembali ke Yerusalem. Dan seperti Abu Bakar yang menaklukkan Yerusalem pada 637, atau di dunia Islam Arab lain kala itu, ia mengizinkan warga Yahudi untuk melakukan pekerjaan apa saja, mulai dokter sampai pegawai. Bukan hanya menjadi rentenir, seperti bila mereka hidup di Eropa Barat (seperti diperlihatkan dalam Merchant of Venice karya Shakespeare, yang difilmkan pada 2004 oleh sutradara Michael Radford dengan aktor Al Pacino).

Balian, yang menjadi tokoh sentral dalam Kingdom of Heaven, mungkin perannya dalam film didramatisasi. Sejak berkapal dari Italia menuju Yerusalem, badai menerjang terus, dan hanya dia dan kudanya yang selamat, itu tak masuk akal. Dalam riwayat aslinya, konon, Sybillia juga tak pernah jatuh cinta padanya, tapi film menampilkan keduanya bercinta di ranjang. Akan halnya Raja Baldwin yang menderita lepra itu, Hollywood membuatnya mengenakan topeng keperakan yang terkesan teatrikal seperti Iron Mask.

Tapi harus diakui, Kingdom of Heaven dilandasi riset yang teliti. Ketika Reynauld de Chatillon dan Guy tertangkap, Saladin memberi Guy sekantong air yang diberi es dari salju di Gunung Hermon. Itu ada dalam film. "Raja tidak membunuh raja," kata Saladin kepada Guy. Reynauld de Chatillon dipenggal, tapi Guy dibiarkan hidup. Yang agak dikarikaturkan adalah peran Uskup Agung Heraclius yang ditampilkan begitu ketakutan. Dalam riwayat, sang uskup memang dikatakan membayar pajak dan dibebaskan oleh Saladin.

Film ditutup dengan sekilas munculnya Richard Berhati Singa. Ini membuat film ini seperti bersambung. Penonton tahu bahwa setelah itu sesungguhnya terjadi pertempuran dahsyat Saladin melawan Richard. Perang Salib dalam catatan sejarawan berakhir sekitar 1291. Tapi sampai sekarang, "daki" sang perang berkeliaran ke sana kemari. Masih ada juga titik darah penghabisan untuk sebuah paranoia. Film ini seolah berpesan, ketika Balian berteriak di Yerusalem: "Tidak ada yang paling suci antara Tembok Ratapan, Bukit Golgota, Masjidil Aqsa!"

(Dari Majalah TEMPO Edisi. 12/XXXIV/16-22 Mei 2005)
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar